Dia yang membiarkan hari-harinya berlalu tanpa berbuat kebaikan dan hanya menikmati senangnya kehidupan, bagaikan pompa bernapas, tetapi tidak hidup
Kebenaran dapat datang dari mana pun, dari siapa pun, dari latar belakang manapun. Oleh karenanya, menutup diri kita dari berbagai ajaran yang mulia tersebut hanyalah akan merugikan diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri banyak diantara kita yang merasa “asing” dengan “bahasa-bahasa” yang digunakan oleh agama yang berbeda dengan agama yang kita anut. Perasaan asing tersebut akan menutup mata, telinga, dan hati kita untuk mendengarkan kebenaran yang disampaikan pihak lain. Kita merasa kurang nyaman dengan istilah-istilah, terminologi, nama-nama, dan contoh-contoh yang digunakan oleh agama lain. Oleh karena itu, kita memilih untuk tidak mengakses buku-buku dan ajaran-ajaran yang mereka kemukakan. Jangankan membacanya, pada saat berkunjung ke sebuah toko buku pun kita cenderung “menghindari” rak-rak yang berisikan buku-buku yang berbeda dengan agama yang kita anut.
Perasaan asing sering menutup mata, telinga, dan hati kita untuk mendengarkan kebenaran yang disampaikan pihak lain
Alasan klasik yang sering kita dengar dalam pembatasan agama
Ada berbagai alasan yang mungkin mendorong terjadinya perilaku demikian. Pertama, adanya sebuah paradigma dalam pikiran kita bahwa hanya ajaran agama kitalah yang paling benar. Pernyataan ini secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa ajaran agama lain itu salah. Ini melahirkan pemikiran bahwa karena ajaran tersebut salah, kita tidak perlu mengaksesnya, apalagi mempelajarinya. Pemikiran ini diperkuat dengan pemikiran bahwa ajaran agama kita sudah sedimikian lengkapnya, bahkan untuk urusan-urusan yang sepele dan kecil. Oleh karena itu, kita sama sekali tidak melihat adanya kebutuhan untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang lain.
Setiap orang yang beragama haruslah meyakini bahwa agama yang dianutnya bukanlah agama KTP, bukanlah sekedar karena keturunan, bukanlah formalitas. Agama yang kita anut adalah agama yang Anda “pilih” secara sadar. Sama sekali tidak salah apabila kita meyakini bahwa ajaran agama yang kita anut adalah yang paling benar. Inilah yang membuat kita memilih agama yang sekarang dan bukan agama yang lain. Oleh karena itu, tetaplah memilih agama kita, meyakininya dengan sepenuh hati, mempelajarinya sampai ke dalam-dalamnya, dan yang terpenting mengamalkannya dalam keseharian kita. Namun, itu sama sekali bukan berarti Anda perlu menutup akses pada ajaran agama yang lain. Meyakini kebenaran agama Anda sama sekali bukan berarti kehilangan kesempatan kita untuk mengakses kekayaan ajaran agama lain yang juga sangat luar biasa.
Alasan kedua adalah karena kita takut terpengaruh. Kita takut, jangan-jangan mempelajari ajaran agama lain akan menggoyahkan keimanan kita. Mengenai alasan ini, saya hanya ingin berkomentar bahwa hal itu tidak pernah akan terjadi apabila Anda telah mempelajari dan memahami agama Anda secara benar. Jika Anda merasa takut terpengaruh dan takut iman Anda tergoyahkan, itu hanya menunjukkan satu hal kepada saya, Anda sebenarnya belum sepenuhnya yakin dengan ajaran agama yang sekarang ini sedang Anda anut!
Membatasi akses hanya pada ajaran agama sendiri berarti membatasi pengetahuan, pengalaman, dan paradigma kita
Menurut saya setiap agama itu “berbeda” karena sudah tentu setiap agama menggunakan “bahasa” yang berbeda dalam mendeskripsikan Tuhan. Setiap agama mengajarkan cara-cara berdoa yang berbeda. Setiap agama pun memiliki tata cara dan aturan yang berbeda dalam hubungan antarmanusia. Namun, saya juga mengatakan bahwa setiap agama itu “sama” karena, semua agama mengajarkan kasih, cinta, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Esensi semua ajaran agama adalah cinta dan kasih. Inilah hakikat tertinggi sekaligus paling dasar mengenai keberagaman, manifestasi utama sifat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Semua agama mengajarkan kasih, cinta, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain
Banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa kita berperang, memusuhi, mengejek, menjelekkan orang lain atas nama Tuhan. Kita menyerang orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita berusaha meyakinkan bahwa mereka salah, kitalah yang benar. Bahkan atas nama memurnikan agama, kita menyerang mereka, merusak harta benda yang mereka memiliki, dan tak jarang juga menghabisi hidup mereka.
Tidak ada gunanya beragama apabila hal itu belum dapat menggugah Anda untuk mengasihi orang lain!
Saya memahami agama lebih pada konteks spiritualitas, inti setiap manusia adalah pada spiritualitasnya, pada rohnya. Bukankah kita ini sebenarnya adalah makhluk rohani yang sedang hidup dalam jasmani? Oleh karena itu, dalam pemahaman saya spiritualitas pastilah lebih dahulu ada daripada segala ajaran agama. Spiritualitas kita yang paling dalam adalah pengakuan kita akan adanya kekuatan yang luar biasa di luar kita yang kita sebut Tuhan. Agama datang setelah spiritualitas dan mengajarkan kepada kita prinsip-prinsip dasar dalam berhubungan dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Agama membantu kita mengenali dan membahasakan Tuhan yang begitu abstrak.
Dengan memahami spiritualitas tersebut, saya melihat bahwa hakikat, inti, dan esensi manusia sebenarnya adalah sama. Oleh karena itu, saya tidak terlalu terganggu dengan hal-hal yang fisik dan tampak dari luar. Analoginya seperti roda, kalau berada jauh dari pusat, jarak antara tiap jerujinya akan terasa jauh. Namun, begitu masuk ke pusat, jarak antara jerujinya menjadi begitu dekat. Ketika kita berada di luar, jarak kita menjadi begitu lebar, perbedaan di antara kita terasa begitu besar. Namun yang menarik, begitu mendalami ajaran agama kita secara mendalam, memahami sampai ke inti-intinya, dengan kata lain memahami segala sesuatunya secara total dan menyeluruh, kita akan merasakan bahwa diri kita begitu dekat satu sama lain, bahwa perasaan yang ada di antara kita jauh lebih besar dibandingkan dengan perbedaannya.
Dibandingkan dengan perbedaannya, persamaan yang ada di antara kita jauh lebih besar
Post a Comment